Kamis, 24 Desember 2009

Kajian penggunaan antiemetika pada pasien kanker dengan terapi sitostatika di rumah sakit di Yogyakarta

Dyah Aryani Perwitasari
Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 2006 91
Kajian penggunaan antiemetika pada pasien
kanker dengan terapi sitostatika di rumah
sakit di Yogyakarta
Study of antiemetic pattern on cancer patients with
cancer by cytostatic therapy hospitals in Yogyakarta
Dyah Aryani Perwitasari
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan
antiemetik pada penderita kanker berdasarkan medical record yang ada di
rumah sakit di Yogyakarta. Selanjutnyan pola penggunaan antiemetik di
rumah sakit tersebut akan dibandingkan dengan literatur untuk mengetahui
kesesuaian penggunaannya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang bersifat
retrospektif. Data diperoleh dari medical record yang ditulis oleh dokter dan
perawat untuk pasien kanker rawat inap di rumah sakit di Yogyakarta selama
bulan Januari – Juni tahun 2003. Data yang diperoleh kemudian
dikelompokkan berdasarkan pengobatan sitostatika dengan efek emetogenik
berat, sedang maupun ringan, kondisi pasien kanker, dan penggunaan
antiemetik sebelum dan setelah mendapat pengobatan sitostatika.
Hasil penelitian di rumah sakit menunjukkan antiemetik yang diberikan
pada pasien kanker yang mendapat sitostatika dengan emetogenik berat
belum ada yang sesuai dengan literatur karena tidak ada yang menggunakan
kombinasi deksametason. Antiemetika yang diberikan pada pasien kanker
yang mendapat sitostatika emetogenik sedang di rumah sakit juga belum
ada yang sesuai dengan literatur.Untuk penderita kanker yang melakukan
pengobatan sitostatika dengan emetogenik ringan belum sesuai dengan
literatur baik pada penggunaan antiemetik sebelum maupun setelah
pengobatan sitostatika. Jenis antiemetik yang digunakan sebelum pengobatan
sitostatika belum sesuai dengan literatur yaitu ondansetron dan
metoklopramid, sedangkan antiemetik yang digunakan setelah pengobatan
sitostatika yang sesuai dengan literatur yaitu metoklopramid.
Kata kunci: Antiemetik, Efek Emetogenik, Sitostatika, rumah sakit.
Abstract
The aim of the research was to know the description of antiemetic
usage on the patients with cancer based on the medical records that were
available in the hospital. Hereby, the use of antiemetic would be compared to
literature for seeing the pattern.
The study was a descriptive, analytic and retrospective study. The data
taken from the medical records were written by doctor and nurses for cancer
in patients hospital during Januari to June 2003. Data were grouped based
on cytotoxic treatment with strong, medium and weak emetogenic effects,
the condition of cancer patients, and antiemetic usage before and after
having cytotoxic treatment.
The results showed antiemetic usage before and after strong
emetogenic cytotoxic treatment were not suitable because there was no
combination with dexametason. Antiemetic usage which was used before and
Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 91 – 97, 2006
Kajian penggunaan antiemetika...................
Majalah Farmasi 92 Indonesia, 17(2), 2006
after mild emetogenic cytotoxic treatment were not suitable with
ondansetron, metochlorpramide, combination of ondansetron – metochlorpramide.
The use of antiemetic on cancer patients who got strong and
medium emetogenic cytostatic was not been suitable with literatures
because the patients were not given dexamethasone as combination therapy.
For cancer patients given before and after medical treatment with weak
emetogenic effect weren’t suitable in both of hospitals. Antiemetic usage
before cytotoxic treatment that was not suitable was ondansetron and
metoclopramide, where as antiemetic usage after cytotoxic that was suitable
was metoclopramide.
Key words: Antiemetic, Emetogenic Effect, Cytotoxic, hospital
Pendahuluan
Penyakit kanker dewasa ini menduduki
peringkat teratas penyebab kematian manusia.
Di negara maju kanker merupakan penyebab
kematian kedua setelah penyakit kardiovaskuler.
(Anonim, 2000).
Sitostatika mempunyai efek yang dapat
merugikan seperti gangguan gastrointestinal
(emetogenik). Berdasarkan sifat emetogenik
obat-obatan kemoterapi dibagi menjadi 3 (tiga),
yaitu emetogenik berat, sedang dan ringan
(Anonim, 1998).
Penelitian mengenai pemberian antiemetik
khususnya untuk pasien kanker yang
memperoleh sitostatika demikian penting
dilakukan dengan melihat pola penggunaannya
di pusat-pusat layanan kesehatan agar dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien kanker.
Tidak semua rumah sakit memberikan terapi
yang paripurna kepada pasien kanker.
Jenis pengobatan kanker yang digunakan
pada dasarnya sama, yaitu pembedahan, radioterapi,
obat-obatan sitostatika (kemoterapi),
imunoterapi, pengobatan dengan hormon,
tumbuhan obat, simplisia dari binatang dan
mineral lainnya (Dalimartha, 1999).
Kemoterapi merupakan terapi sistematik
yang dapat digunakan untuk menghambat
pertumbuhan kanker atau untuk membunuh sel
sel kanker dengan obat-obat anti kanker yang
disebut sitostatika (Sukardja, 2000).
Mual dan muntah merupakan efek
samping yang menakutkan bagi penderita dan
keluarganya sehingga kadang-kadang penderita
menolak pengobatan lanjutan , karena efek
samping tersebut muncul setelah pengobatan
sitostatika berlangsung. Akibat lebih lanjut dari
muntah yang tidak diobati atau mendapat
pengobatan yang tidak adekuat pada penderita
kanker, pada umumnya keadaan yang lemah,
nafsu makan dan minum menurun, status gizi
yang kurang baik, dehidrasi, gangguan elektrolit
dan pneumonia aspirasi. (Alsagoff-Hood,
1995).
Impuls yang berasal dari otak untuk
memulai muntah kadang terjadi tanpa didahului
perangsangan mual (Guyton and Hall, 1997).
Antiemetik dapat menutupi penyebab muntah.
Tabel I. Beberapa contoh paduan obat kemoterapi yang lazim digunakan
No Jenis obat dan cara pemberian Penggunaan
1 CAF
Cyclophospamid, i.v., 500 mg/ m², 1 hari
Doxorubicin (Adreamycin), i.v., 50 mg/ m², I hari
Fluorouracil, i.v., 500 mg/ m², 1 hari.
Kanker payudara
2 CAV
Cyclophospamid, i.v., 45 mg/ m², 1 hari
Doxorubicin (Adreamycin), i.v., 50 mg/ m², I hari
Vincristin, i.v.,1,4 mg/ m²(max: 2 mg), 1 hari
Kanker alat kelamin
3 CAP
Cisplatin, i.v., 50 mg/ m²,hari 1
Cyclophospamid, i.v., 500 mg/ m², 1 hari
Doxorubicin (Adreamycin), i.v., 50 mg/ m², I hari.
Kanker ovari
Dyah Aryani Perwitasari
Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 2006 93
Muntah terjadi akibat dari stimulasi dari pusat
muntah dan berlangsung menurut beberapa
mekanisme (Gambar 1).
Empat bagian susunan emetogenik pada
obat sitostatika antara lain:
a. Mual muntah akut. Biasanya terjadi saat
sedang pemberian sitostatika. Tanpa pengobatan
antiemetik, obat sitostatika dengan
potensi mual muntah sedang sampai berat
diperkirakan dapat menyebabkan mual
muntah yang berulang atau terus menerus.
b. Mual muntah tertunda menggambarkan
keterlambatan mual muntah akibat penggunaan
terapi sitostatika cisplatin. Terjadi
2-6 hari setelah terapi.
c. Mual muntah yang berlarut, biasanya untuk
obat sitostatika emetogenik sedang seperti
cyclophospamid dosis 500 mg dapat
menyebabkan mual muntah selama 2-3 hari.
d. Antisipator mual muntah. Ini terjadi pada
pasien yang sudah merasa mual atau rasa
tidak enak diperut dan cemas, padahal obat
sitostatika belum diberikan. Sebagian pasien
dapat menekan rasa tersebut dengan latihan
relaksasi (Jeffery..et.al.,..1998). Potensi timbulnya
mual dan muntah oleh kemoterapi
(Tabel II ).
Pedoman antiemetik dalam penatalaksanaannya
disesuaikan dengan literatur dapat
dilihat pada Tabel III.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pola penggunaan antiemetik
pada penderita kanker yang mendapatkan
pengobatan sitostatika berdasarkan terjadinya
efek potensi emetogenik yang berbeda di
rumah sakit negeri dan rumah sakit swasta di
Yogyakarta, yang disesuaikan dengan literatur
Jeffery et al, (1998).
Metodologi
Jenis penelitian merupakan penelitian
deskriptif analitik yang bersifat retrospektif dengan
melihat data primer yaitu medical record yang ada di
satu rumah sakit di Yogyakarta. Populasi penelitian
adalah semua medical record pada pasien kanker yang
mendapatkan sitostatika di rumah sakit. Sampel
adalah medical record pasien kanker yang mendapat
sitostatika di rumah sakit di Yogyakarta pada
periode Januari – Juni 2003.
Gambar 1. Mekanisme muntah dan titik-titik kerja antiemetik (Tjay and Raharja, 2002)
Tabel II.Potensi emetogenik obat sitostatika (Jeffery
et al, 1998)
Efek
timbulnya
emetogenik
Obat Sitostatika
Berat Cisplatin
• Akut
• Tertunda/ delayed
Dactinomycin, Cytarabine
(dosis tinggi)
Sedang Cyclophosphamid
Carboplatin
Doxorubicin
Daunorubicin
Ringan Etoposide
Fluorouracil
Hydroxyurea
Metotrexat
Chlorambucil
Vinblastine
Vincristine
Melphalan (PO, dosis ringan)
Mercaptopurine
Kajian penggunaan antiemetika...................
Majalah Farmasi 94 Indonesia, 17(2), 2006
Definisi variabel operasional penelitian
Pola penggunaan antiemetik pada kasus
penderita kanker adalah penggunaan antiemetik
sebelum penggunaan sitostatika dan setelah penggunaan
sitostatika berupa nama obat, jenis pemberian,
dan dosis pemberian. Pasien adalah pasien kanker
yang mendapatkan sitostatika dengan usia 20 -60
tahun di satu rumah sakit di Yogyakarta. Kategori
pasien adalah kategori mual muntah dan kategori
tidak mual muntah, digolongkan berdasarkan
pengobatan dengan sitostatika yang mempunyai sifat
potensi emetogenik secara teoritis (berat, sedang,
ringan).
Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif untuk mengetahui pola penggunaan
antiemetik pada penderita kanker sebelum dan
setelah mendapatkan sitostatika berdasarkan nama
obat, jenis pemberian, dosis pemberian. Kemudian
ketepatan pemberian antiemetik dianalisis apakah
sudah sesuai dengan literatur (Jeffery et al, 1998)
Hasil Dan Pembahasan
Distrbusi penggunaan antiemetik pada
54 pasien di rumah sakit di Yogyakarta
berdasarkan jumlah pengobatan (Tabel IV ).
Antiemetik yang digunakan di rumah
sakit pada pasien yang mendapat sitostatika
emetogenik berat adalah ondansentron 8-24
mg, metoklorpramid 10-40 mg atau kombinasi
ondansentron 10 mg-metoklorpramid 10 mg.
Di rumah sakit ini tidak diberikan dexametason
sebagai kombinasi antiemetik. Tujuan penggunaan
antiemetik kombinasi dexametason dan
metoklopramid selama 5 hari secara peroral
setelah pengobatan sitostatika untuk mengatasi
mual muntah yang tertunda akibat cisplatin
(Jeffery et al, 1998).
Gambaran pasien yang mengalami mual
muntah dan kesesuaian penggunaan antiemetik
berdasarkan literatur (Tabel V). Pemberian
antiemetik baik sebelum maupun sesudah
pengobatan belum ada yang sesuai dengan
literatur karena tidak menggunakan kombinasi
deksametason. Antiemetik yang diberikan
adalah ondansentron, metoklorpramid dan
kombinasi keduanya.
Dosis pemakaian ondansetron 8 mg,
metoklopramid 10-40 mg dan kombinasi
dexametason 8 – 20 mg. Penggunaan antiemetik
sebelum pengobatan sitostatika berupa
sediaan injeksi agar dapat mempercepat kerja
obat tanpa melalui absorpsi. Sedangkan setelah
pengobatan sitostatika secara peroral kerja
obatnya melalui absorpsi biasanya 3 kali sehari
selama 5 – 10 hari untuk mengatasi terjadinya
efek emetogenik tertunda.
Penggunaan antiemetik pada sitostatika
dengan efek emetogenik sedang (Tabel VI).
Pemberian antiemetik di rumah sakit
sebelum dan sesudah pemberian sitostatika
belum ada yang sesuai dengan literatur.
Antiemetik yang diberikan di rumah sakit
adalah ondansentron, metoklorpramid dan
kombinasi keduanya.
Dari Tabel VII penggunaan dosis
antiemetik untuk sebelum pengobatan
sitostatika sudah sesuai dengan aturan pemakaian
dexametason 8-20 mg – ondansetron 8
mg (Jeffery et al, 1998). Metoklorpramid yang
diberikan di rumah sakit adalah 10-14 mg,
disesuaikan dengan frekwensi muntah pasien.
Pasien kanker yang mendapatkan
sitostatika seperti fluorouracil, metotrexate,
bleomicyn, dan vincristin dan lainnya,
mempunyai efek emetogenik ringan. Pemberian
antiemetik pada pasien kanker yang mendapatkan
sitostatika dengan efek emetogenik ringan
(Tabel VIII ).
Antiemetik yang diberikan baik sebelum
maupun sesudah pemberian sitostatika belum
Tabel III. Obat sitostatika dengan pemberian antiemetik (Jeffery et al, 1998).
Obat Sitostatika Sebelum Sitostatika Setelah Sitostatika
1. Emetogenik berat
• Cisplatin > 50 mg/ml IV 1-3
jam
Dexametason 8–20 mg
dengan Ondansetron 8 mg
Metoklopramid 10-40 mg atau
penambahan dexametason untuk 5 hari
(dosis awal 8 mg selama 3 hari, untuk 2
hari dosis 4 mg)
2. Emetogenik Sedang
• Cyclophospamid
• Doxorubicin
Dexametason 8-20 mg
dengan Ondansetron 8 mg
Metoklopramid atau prokhlorperazin
sesuai dosis untuk 1-3 hari
3. Emetogenik Ringan
• Fluorouracil
• Metotrexat
Dexametason 8-12 mg Metoklopramid atau Prokhlorperazin
Dyah Aryani Perwitasari
Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 2006 95
ada yang sesuai dengan literatur, karena yang
diberikan sebelum pemberian antiemetika
adalah ondansentron atau metoklorpramid
tanpa dikombinasi dengan deksametason.
Sedangkan antiemetik yang diberikan setelah
pemberian sitostatika adalah ondansentron,
metoklorpramid atau kombinasi metoklorpramid
dengan ondansentron .
Tabel IV. Distribusi penggunaan jenis sitostatika berdasarkan efek emetogenik di rumah sakit
No
Potensi
emetogenik
Nama obat
Jumlah
pengobatan
1. Emetogenik Berat Cisplatin 14
Cisplatin – Doxorubicin/Bleocin-Siklofosfamid 5
Cisplatin – Siklofosfamid 7
Cisplatin-Fuorourasil 9
Total 35
2. Emetogenik sedang Mitomisin 8
Doxorubicin 10
Formorubisin 22
Cyclophospamid-Formorubisin- Fluorouracil 9
Cyclophospamid-Doxorubicin/Formorubisin 6
Formorubisin -5FU 5
Neosar-Adriamisin-Vinkristin 1
Carboplatin 4
Total 63
3. Emetogenik Ringan Cytarabine 2
Fluorouracil 166
Medroxyprogesteron 2
Vincristine-Fluorouracil 1
Etoposide 3
Total 174
Tabel V. Jumlah pengobatan sitostatika dengan emetogenik berat berdasarkan kondisi pasien dan waktu
pemberian antiemetik di rumah sakit
Pengobatan Sitostatika Jumlah pemberian antiemetik
Kondisi pasien
Jumlah
Tidak sesuai
literatur
Tidak sesuai literatur
Sebelum + Setelah Sebelum Setelah Tanpa
Mual Muntah 22 12 (30,8 %) 8 (20,5 %) 1 (2,5 %) 1 (2,5 %)
Tidak Mual muntah 17 - 13 (33,3 %) - 4 (10,3 %)
Total 39 0 21 1 5
Tabel VI Jumlah pengobatan sitostatika dengan efek emetogenik sedang berdasarkan kondisi pasien dan
waktu pemberian antiemetik di rumah sakit
Pengobatan Sitostatika Jumlah pemberian antiemetik
Kondisi pasien Jumlah
Tidak sesuai literatur Tidak sesuai literatur
Sebelum + Setelah Sebelum Setelah Tanpa
Mual Muntah 44 9 (14,8 %) 14 (22,9 %) 6 (9,8 %) 15(24,6 %)
Tidak Mual muntah 17 - 12 (19,7 %) 1(1,7 %) 3 (4,9 %)
Total 61 26 7 18
Kajian penggunaan antiemetika...................
Majalah Farmasi 96 Indonesia, 17(2), 2006
Jenis penggunaan antiemetik sebelum
dan setelah pengobatan sitostatika tidak sesuai
sehingga tidak dapat dikaji, yang sesuai hanya
untuk setelah pengobatan sitostatika saja yaitu
pemberian metoklopramid 10 mg dengan
frekuensi dan lama pemberian selama 3 kali
sehari selama 5 hari. Di dalam literatur
frekuensi dan lama pemberiannya tidak
diketahui sehingga tidak dapat dikaji.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah
hasil penelitian belum dapat digeneralisasi
untuk semua rumah sakit. Hal ini disebabkan
karena setiap rumah sakit mempunyai prosedur
terapi yang berbeda. Acuan literatur yang
digunakan dalam penelitian ini adalah acuan
internasional, karena di rumah sakit negeri dan
rumah sakit swasta belum mempunyai prosedur
terapi antiemetik pada pasien kanker.
Kesimpulan
Pemberian antiemetik di rumah sakit
pada sitostatika emetogenik berat belum ada
yang sesuai dengan literatur karena yang
diberikan adalah ondansentron saja atau
metoklorpramid saja, tanpa kombinasi dengan
deksametason.
Pemberian antiemetik di rumah sakit
pada sitostatika emetogenik ringan belum ada
yang sesuai dengan literatur karena yang
diberikan adalah ondansentron saja atau
metoklorpramid saja.
Penggunaan antiemetik di rumah sakit
pada pengobatan sitostatika dengan emetogenik
ringan belum sesuai dengan literatur karena
hanya mendapatkan antiemetik sebelum atau
setelah pengobatan sitostatika saja. Antiemetik
yang digunakan sebelum pengobatan sitostatika
adalah ondansetron 8 mg dan metoklopramid
10 mg dalam bentuk sediaan injeksi. Sedangkan
penggunaan antiemetik setelah pengobatan
sitostatika sudah sesuai yaitu penggunaan
Ondansentron 8 mg dan metoklopramid 10 mg
dalam bentuk sediaan peroral.
Tabel VII Jenis antiemetik pada pengobatan sitostatika dengan efek emetogenik sedang berdasarkan
dosis dan jalur pemberian antiemetik.
No. Jenis antiemetik
Sebelum pengobatan
Sitostatika
Setelah pengobatan
Sitostatika
1. Ondansetron
8 mg/4 ml(i.v) 8 mg(p.o)
2. Ondansetron-Dexametason 8 mg/4 ml(i.v)– 8 mg/ 2 ml(i.v) 0,5 mg(p.o)-8 mg(p.o)
Tabel VIII. Jumlah pengobatan sitostatika dengan efek emetogenik ringan berdasarkan kondisi pasien
dan waktu pemberian antiemetik di rumah sakit
Pengobatan Sitostatika Jumlah pemberian antiemetik
Kondisi pasien
Jumlah
Tidak sesuai literatur Tidak sesuai literatur
Sebelum + Setelah Sebelum Setelah Tanpa
Mual-muntah 16 4 (3,5 %) 2 (1,8 %) 7 (6,1 %) 8(7,0 %)
Tidak mual
muntah
99 - 7(6,1 %) -
84(73,0 %)
Total 115 4 9 7 92
Tabel IX. Jenis antiemetik pada pengobatan sitostatika dengan efek emetogenik ringan berdasarkan dosis
dan jalur pemberian antiemetik
No Jenis antiemetik
Dosis sebelum
pengobatan Sitostatika
Dosis setelah
pengobatan Sitostatika
1. Ondansetron 8 mg/4 ml(i.v) -
2. Metoklopramid 10 mg/2ml(i.v) 10 mg(p.o)
Dyah Aryani Perwitasari
Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 2006 97
Daftar Pustaka
Alsagoff-Hood, 1995, Kanker Paru dan Terapi Paliatif, Airlangga Universitas Press, Surabaya. hal 143-
144.
Andrijono, 2003, Sinopsis Kanker Ginekologi, With Compliments, Bristol Myers Squib Ongkologi,
Jakarta. hal. 71.
Anonim, 1998, Mual dan Muntah pada Kanker, Majalah Ilmu Penyakit Dalam Vol. 24, No. 2, FK
Unair, hal 54-55.
Anonim, 2000, Neraca, http://www.idionline.org/kliping/, 27 Februari 2004
Dalimartha, S., 1999, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker, Swadaya Press, Jakarta, hal. 1-5.
Guyton, A.C. and Hall, J.E., 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, EGC, Jakarta, hal. 1058.
Jeffery, H., Richard, D., and James-Chatgilaou, G., 1998, Clinical Pharmacy : A pratical Approach, The
Society of Hospital of Australia, Pharmacists of Australia, page 360.
Sukardja, I.D.G., 2000, Ongkologi Klinik, Airlangga Universitas Press, Surabaya, hal. 213, 239.
Tjay, T.H. and Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting. Khasiat, Penggunaan, dan Efek Samping, Edisi V,
Gramedia, Jakarta, hal. 254-268.

Bawang Bombay Pencegah Kanker

KOMPAS.com - Bawang bombay telah dikenal luas sebagai penyedap masakan. Akan tetapi kegunaannya ternyata bukan hanya sekadar bumbu penyedap. Banyak di antara kita belum tahu kemampuan bawang bombay sesungguhnya. Dikenal sebagai anggota keluarga Allium, baik bawang maupun bawang bombay mengandung komponen sulfur dan kaya akan kromium, sebuah mineral yang membantu sel tubuh untuk merespon insulin dengan baik, vitamin c (ya, ada vitamin c dalam bawang bombay!) dan juga flavonoid yang disebut quercitin. Selain efek penurunan gula darah akibat mengkonsumsi bawang bombay, ternyata bawang bombay juga baik untuk menurunkan level total kolesterol dan meningkatkan kolesterol baik dalam tubuh sehingga tidak mengherankan bahwa bawang bombay baik bagi jantung Anda. Sebuah penelitian menyatakan, mengkonsumsi bawang bombay secara rutin sebanyak satu atau dua kali seminggu bisa menurunkan risiko dari kanker usus besar. Mengapa begitu? Hal ini disebabkan karena bawang mengandung flavonoid bernama quercitin yang menurut penelitian pada binatang percobaan telah menyebabkan terhentinya pertumbuhan tumor dan melindungi sel usus besar dari kerusakan bahan-bahan penyebab kanker. Bahkan memasak dengan memakai bawang bombay bisa menyebabkan berkurangnya bahan karsinogen penyebab tumor.

Quercitin dan curcumin, sejenis fitonutrien, terbukti mengecilkan ukuran massa yang dianggap sebagai suatu awal kanker pada saluran pencernaan manusia. Hal ini telah dipublikasikan pada Clinical Gastroenterology and Hepatology. Tak hanya kanker usus besar, menurut American Journal of Clinical Nutrition, mengkonsumsi bawang bombay mengurangi risiko terjadinya kanker mulut dan faring sebanyak 84 persen, kanker esofagus sebanyak 88 persen, kanker kolorektal sebanyak 56 persen, kanker payudara sebanyak 25 persen, kanker ovarium (indung telur) 73 persen dan juga kanker prostat sebanyak 71 persen.Riset bertajuk Nurses Health Study pada 66.940 wanita di tahun 1984 hingga 2002 menyatakan bahwa wanita yang banyak mengkonsumsi kaempferol mempunyai penurunan risiko kanker ovarium. Kaempferol selain banyak terdapat pada bawang bombay, juga banyak pada brokoli dan bayam. Studi ini dipublikasikan pada America Journal of Clinical Nutrition.

dr.Intan Airlina Febiliawanti


Buah Merah Hambat Kanker Rahim & Payudara

Hasil penelitian tiga tahun Guru Besar Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Sukarti Moeljopawiro membuktikan khasiat buah merah asal Papua. Buah merah terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker payudara dan rahim. Di Papua, buah merah biasanya digunakan untuk makanan, pewarna alami, kerajinan, kelengkapan upacara adat, pengawet daging dan sagu, serta obat oleh penduduk di wilayah tersebut. Dalam penelitian Sukarti, struktur kimia senyawa bioaktif dalam fraksi potensial terhadap sel kanker payudara dan rahim."Sari buah merah dapat membunuh 50 persen sel kanker payudara, sel kanker leher rahim, sel kanker usus besar,” kata Sukarti seperti dimuat laman Universitas Gadjah Mada. Sitotiksitas ekstrak buah merah terhadap sel kanker pada masing-masing verietas berbeda. Disebutkan Sukarti, varietas lokal, Yanggiru (buah merah kuning) tidak memiliki senyawa toksik atau aktivitas antikanker terhadap sel kanker payudara dan leher rahim.

Sementara ekstrak paling toksik terhadap sel kanker payudara dan leher rahim adalah ekstrak klorofor, varietas lokal Maler dan ekstrak methanol varietas lokal Barugum. “Kandungan golongan senyawa toksik terhadap sel kanker payudara dan leher rahim adalah terpen. Terdapat 25 senyawa yang didominasi 9-octadecenoic acid sebanyak 45 persen dan hexadecanoid acid sekitar 14,7 persen,” ujar lulusan Program Doktor Universitas Missouri Columbia, Amerika, tahun 1985 ini. Sukarti juga menjelaskan kemampuan buah merah menghambat pertumbuhan sel kanker payudara disebabkan sari buah ini tidak memiliki efek terhadap siklus sel dan menginduksi aposotosis dengan jalan mengaktofkan enzim caspase-3.
Salah satu peneliti dan pengusaha buah merah, Made Budi mengatakan buah merah hidup di paparan sahul di daerah Maluku Utara, Papua, Papua Nugini, dan Kepulauan Pasifik. Buah merah dengan kualitas terbaik terdapat di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 2500 meter di atas permukaan laut. “Buah ini bisa tumbuh mengalami anomali saat ditanam di tempat lain,” kata Ketua Jurusan Biologi Universitas Cenderawasih, Papua, ini. Pemanfaatan buah merah oleh masyarakat Papua sudah dilakukan sejak lama. Selama delapan tahun terakhir, dirinya telah meneliti dan mengenalkan buah merah sebagai obat berbagai macam penyakit dengan cara dibuat kapsul dari ekstraknya. Produk ini berkhasiat menyembuhkan asam urat dan meningkatkan daya tahan tubuh. “Hasil ekstrak hanya mendapat 15 persen dari sari buah merah. Sisanya berupa ampas. Saat ini pasokan buah merah dari produk kita ambil dari daerah pegunungan di Wamena. Delapan tahun masih survive,” kata dia.

Kedelai Kurangi Risiko Kanker Payudara

KONSUMSI kedelai jumlah sedang secara teratur membantu menurunkan risiko kematian dan kembalinya kanker pada perempuan penderita kanker payudara. Selain itu, hubungan antara kedelai dan pengurangan risiko kematian tetap berlaku pada perempuan dengan kanker reseptor estrogen positif dan perempuan yang menggunakan tamoxifen. "Kami menemukan bahwa perempuan dengan sejarah kanker payudara yang mengonsumsi makanan dari kedelai jumlah sedang memiliki prognosis yang lebih baik. Mereka mengalami pengurangan angka kematian dan kemunculan kanker kembali," tutur penulis studi Dr. Xiao Ou Shu dari Vanderbilt University Medical Center di Nashville, Tennesse, seperti dikutip situs healthday. Sebelumnya, kandungan fitoestrogen di dalam kedelai diduga meningkatkan risiko kanker payudara atau memperburuk prognosis pada perempuan yang telah terdiagnosis penyakit tersebut. Akan tetapi, temuan Shu ini menyangkal dugaan tersebut. Studi yang dilakukan Shu dan teman-temannya menemukan bahwa kedelai pada dasarnya mengurangi ketersediaan estrogen alami dengan cara melekatkan diri ke reseptornya. "Dalam studi ini, kami menemukan bahwa makanan kedelai mempunyai efek yang sangat sama dengan tamoxifen," tambah Shu.Tamoxifen merupakan obat yang menghadang aksi estrogen di dalam tubuh, sehingga bisa membatu mengatasi kanker yang dipicu oleh estrogen.

Pilihan makanan

Dalam stdui ini, Shu melibatkan lebih dari 5,000 perempuan China yang sebelumnya telah terdiagnosis kanker payudara antara 2002 dan 2006. Para partisipan berusia 20-75, dengan mayoritas berusia antara 40 dan 60 saat terdiagnosis. Para peneliti mengumpulkan informasi mengenai diagnosis dan penanganan kanker, faktor gaya hidup (termasuk diet) dan perkembangan penyakit setelah 6 bulan terdiagnosis dan setelah 1,5, 3, dan 5 tahun diagnosis.
Perempuan dengan asupan kedelai tertinggi mengalami 29 persen pengurangan risiko kematian dan 32 persen pengurangan risiko munculnya kanker kembali, dibandingkan mereka yang makan kurang dari 5.3 gram kedelai per hari."Ada respon linear, semakin tinggi asupan semakin rendah angka kematian, hingga 11 gram protein kedelai.รข€ Setelah mencapai 11 gram, lanjut Shu, manfaat tidak akan bertambah, tapi tidak menurun. Sebelas gram protein kedelai setara dengan seperempat cangkir tahu setiap hari. Dari mana sumber protein kedelainya? Perempuan China, terang Shu, cenderung mendapatkan kedelai dari sumber-sumber alami, seperti tahu, edamame atau susu kedelai tanpa pemanis dibandingkan tipe makanan kedelai olahan yang seringkali ditambah pemanis. Selain itu, imbuh Shu, perempuan China juga kemungkinan mengganti pilihan makanan yang kurang sehat, seperti daging merah, dengan kedelai.
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/12/13/1927/9/Kedelai-Kurangi-Risiko-Kanker-Payudara

Sabtu, 19 Desember 2009

MUAL, MUNTAH

Mual dan muntah bisa jadi menunjukan beberapa kondisi, maka amat penting untuk menentukan penyebab sebelum memutuskan penggunaan obat yang tepat.Mual dan muntah sering sekali dilontarkan pasien dengan latar belakang penyakit yang berbeda. Penyebab mual dan muntah bisa jadi sangat sederhana, seperti berputar terlalu cepat saat naik mesin di taman hiburan. Tetapi, mual muntah bisa juga merupakan gejala suatu penyakit yang lebih serius, atau karena efek pemberian obat-obatan tertentu. Jadi mual muntah bisa berdiri sendiri sebagai hal yang independen, namun umumnya dibicarakan bersama-sama dengan kondisi lain. Mual dan muntah banyak dikaitkan dengan ganguan organik dan fungsional. Kondisi darurat di rongga perut seperti apendikitis kut, kolesistitis, gangguan di saluran intestinal, atau peritonitis juga bisa menyebabkan mual dan muntah. Infeksi virus, bakteri, dan parasit lain di saluran pencernaan secara tipikal menyebabkan mual dan mmuntah dengan derajat berat. Satu dari begutu banyak penyebab muntah pada anak adalah gastroenteritis yang disebabkan rotavirus. Tipe lain dari kondisi mual dan muntah adalah yang disebut mual dan muntah yang bisa diantisipasi atau anticipatory nausea and vomiting. Mual dan muntah jenis ini disebabkan karena pemberian obat-obat kemoterapi atau akibat kecemasan yang timbul karena tindakan tersebut. Kebanyakan pasien menunjukkan dua-duanya, baik karena obatnya dan juga kecemasan akibat efek kemoterapi. Data dari Support Care Cancer tahun 1998 me­nun­jukkan mual atau Anticipatory nausea (AN) dialami oleh sekitar 29% pasien yang menjalani kemoterapi atau 1:3. Sedangkan muntah (anticipatory vomitting/AV) terjadi pada 11% pasien atau 1:10.

Mual dan muntah juga bisa dikeluhkan pasien sesudah menjalani operasi. Data dari World Federation of Societies of Anaesthesiologists 2003 menyebutkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan kejadian yang tidak diinginkan (adverse events0 yang paling sering terjadi setelah tindakan pembedahan. Kasusnya mencapai 60-70% jika menggunakan agen anastesi lama, dibandingkan 30% dengan penggunaan obat anastesi yang relatif baru.Gejala yang sama juga banyak ditemukan pada ke­hamilan. Bahkan ka­susnya relatif tinggi. Rasa mual menimpa 75-85% perempuan hamil, dan 50% diikuti muntah. Karena cukup menganggu dan men­u­run­kan aktivitas harian penderita, maka tu­juan terapi untuk mual dan muntah adalah mencegah atau menghilangkannya. Tetapi pendekatan terapi sangat tergantung pada kondisi medis masing-masing pasien. Untuk mual dan muntah ringan, bisa diatasi dengan obat-obat bebas atau bisa dilakukan pendekatan non farmakologi.Tetapi karena gejala mual dan muntah bisa jadi merepresentasikan beberapa kondisi, maka amat penting untuk menentukan penyebab sebelum memutuskan penggunaan obat yang tepat.

http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=197

Minggu, 13 Desember 2009

Benarkah Allah telah memberikan yang terbaik untuk kita ?

Bila Allah CEPAT mengabulkan doa kita.
Maka Allah menyetujui bahwa yang kita minta itu memang yang terbaik untuk kita.

Bila Allah LAMBAT mengabulkannya.
Artinya Allah ingin menguji kita.
Apakah kita akan berusaha keras untuk mengejar/mewujudkan permintaan tsb.
Apakah permintaan kita itu memang benar-benar yang kita inginkan.
Apakah yang kita minta itu benar-benar memang terbaik untuk kita.
Karena yang kita inginkan belum tentu terbaik untuk kita.

Bila Allah TIDAK mengabulkan doa kita.
Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya permintaan kita itu telah dikabulkan Allah dengan sesuatu yang lebih indah dan lebih membahagiakan.
Hanya saja kita sering baru menyadarinya setelah bertahun-tahun kemudian.

Tetaplah berprasangka baik pada Allah dalam keadaan apapun.
Karena apapun yang sedang dan telah terjadi, sesungguhnya itulah yang terbaik bagi kita.
Sehingga kita (kami dan Anda) berkewajiban untuk SELALU IKHLAS dan MENSYUKURI apa pun kondisi kita.

Dari Burhanudin Damar, Jakarta.

Sumber :
http://kekuatan-hati.forum-warga.web.id/_g.php?_g=_lhti_forum&Bid=1141

URL untuk link ke notes ini :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=293927245065